Detail Berita

Rumah Panggung Berusia Delapan Generasi

Senin, 21 November 2016 - 16:12:44 WIB

Oleh: Syafitri Tambunan. SUDAH delapan generasi empat rumah panggung berukuran 4,5 meter X 16 meter ini berdiri tegak. Jika satu generasi lahir 25 tahun sekali, maka usia bangunan rumah bergaya vernakular yang berada di Jalan Mantri/Jalan Brigjend Katamso Medan ini, diperkirakan sudah berumur lebih seabad.

Dulu, beberapa bangunan bergaya serupa, yakni rumah panggung, di sekitarnya juga kokoh berdiri. Namun kini hanya tinggal beberapa saja. Ada yang lapuk karena usia, ada pula yang dipugar untuk memenuhi gaya hidup, menyesuaikan  dengan bangunan modern.

Terjaga dan lestarinya keemapat rumah panggung di Kecamatan Medan Maimun itu, sempat mendapat perhatian Walikota Medan. Pemko Medan pun menganugrahi penghargaan sebagai bangunan heritage yang bersejarah.

Penghargaan itu diberikan sekitar tahun 2000-an. Dengan anjuran, agar empat rumah panggung yang tersisa itu dirawat dan tidak dihancurkan (diganti) dengan bangunan modern.

Bangunan berkolong tersebut dulunya terkait dengan generasinya H. Abdul Mutholib,  yakni delapan keturunan sebelumnya. H. Abdul Mutholib, pemilik empat rumah ini konon terikat dengan Kesultanan Deli, namun belum jelas bagaimana keterikatannya secara langsung. Menurut salah seorang keluarga, Haryanto (59), penghuni rumah itu, bangunan tersebut sudah ada sejak masa kolonial Belanda di Medan.

Bangunan itu sudah ada sejak tahun 1900-an. Bahkan bisa jadi sudah berdiri jauh sebelum itu. "Sejak dulu, memang sudah berjejer empat rumah. Pembuatan keempat rumah ini ya sama, kira-kira sudah 7-8 generasi. Saya di sini sudah sejak kecil dan umur sekarang sudah 59 tahun," ucap Haryanto Selasa (15/11).

Secara umum, semua kelengkapan rumah mulai dari pintu, tangga, jendela, sampai pola bangunan ke empat rumah tampak sama. Hanya cat, atap genteng, dan bangunan tambahan di bagian bawah yang terlihat berbeda. Artinya, keempat rumah itu tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang.

Sama Bentuk

Karena terpaut silsilah kekeluargaan, makanya  keempat rumah sangat identik. "Kita bersaudara dari istri-istrinya. Makanya rumahnya bisa sama," sebutnya.

Haryanto bercerita, awalnya, di masa Kolonial, kolong rumah tidak dimanfaatkan. "Dulu, sekadar berkolong. Sekarang disekat-sekat untuk kamar. Dari bentuk, tidak ada perubahan. Tembok, tiang, jendela, dan sebagian besar genteng masih asli. Hanya sedikit genteng yang diganti karena yang lama sudah lapuk. Bahkan rumah bercat hijau nomor 22 gentengnya masih asli."

Sedikit renovasi hanya pada bagian dinding dan pengecatan saja. Bangunan ini dipertahankan bukan hanya karena unik, tapi juga fungsional.

Keempat rumah bersekat-sekat, memiliki 3 - 4 kamar.  Setiap rumah dihuni 4 - 6 orang, yang semua penghuninya bergantian dari generasi ke generasi. "Tidak pernah banjir karena jaraknya jauh dari sungai. Kelebihan rumah kayu ini, jika berada di dalam akan teras dingin meskipun udara luar sedang gerah. Tapi beberapa rumah ada juga yang sudah dipasang AC maupun kipas angin," ungkapnya.

Mengenang masa kanak-kanak dulu, Haryanto menuturkan, di depan rumah mereka (seberang jalan) juga banyak rumah panggung milik kerabatnya, bahkan ada yang bentuknya lebih besar. Seiring waktu, jajaran rumah toko (ruko) menggantikan keneradaan rumah panggung itu. Kini hanya rumah mereka yang bertahan.

Haryanto mengakui biaya perawatan rumah itu lumayan susah dan mahal. Susah karena untuk mendapatkan material bahan yang asli sudah tidak ada, kalaupun ada harganya mahal. Terkait penghargaan yang diterima, diakui hanya sekadar mengingatkan jika bangunan itu merupakan aset bersejarah,  namun untuk perawatannya tetap jadi tanggungjawab pemiliknya.

Disadarinya jika bangunan rumah itu perlu mempertahankan sebagai salah satu penarik kunjungan turis. Artinya, bisa jadi aset pariwisata. "Mereka (turis) senang lihat ini. Itu juga yang dulu jadi modal saya hingga kini menjadi pelatih Bahasa Inggris. Dulu, ada turis "nyasar" ke sini saat ingin ke Istana Maimun. Malah dilihatnya ini, diajak foto bersama. Sayang, sekarang malah tidak seperti digubris."

Dikunjungi Turis

Keberadaan aset bersejarah itu memang menyedot perhatian turis. Banyak juga turis dari Eropa, Amerika dan lainnya yang berkunjung. Makanya ia tetap mempertahankan kelestarian dan tidak menjual bangunan tua itu.

Hal sama dilakukan penghuni rumah nomor 22, Rita. Apalagi diakuinya begitu banyak kenangan yang masih melekat. Meskipun perawatannya cukup sulit. Penghargaan dari Walikota Abdillah (dulu) tidak cukup untuk membiayai perawatan rumah itu. Hanya diharapkan rumah tersebut tetap dijaga sebagai lambang warisan.

Tapi dalam kedaan mendesak atau kesulitan eknomi, pemerintah juga tidak bisa campur tangan. "Pemerintah hanya menyarankan agar tidak dijual. Tapi ya itu, (pemerintah) hanya pandainya mengusulkan saja, tidak ada bantu perawatannya," ungkapnya.

Rita menambahkan, ada pembeda pada bangunan panggung nomor 22 saat ini. "Bagian atas (ventilasi) ini belum pernah diganti, masih asli, itu bedanya dengan tiga rumah sebelah."

Secara fisik bangunan, tangga ada di belakang, berdekatan dengan kamar mandi. Tiga rumah lain, tangganya, masih asli (posisinya), mentok, ada tangga ke bawah menuju dapur. Aslinya memang begitu, dapur ke bawah. Ada pintu conecting, di sudut ujung, tapi kini sudah diubah. Bagian ujung rumah dulunya saling terhubung dengan conecting door. Semua punya pintu ke sebelah, bahkan sampai ke rumah terakhir.

Kini pintu yang terhubung itu sudah ditutup karena sudah berganti penghuni. "Kalau dulu, kan rumah istri-istrinya, jadi terhubung. Sedangkan sekarang, generasinya sudah berbeda," katanya sambil menambahkan rumah tersebut kini atas nama Ahmad Dahlan (atok/anggut-nya) dalam tutur kekerabatan etnis Minang.

Pemilihan warna, lanjutnya, tidak bermakna spesial. "Warna biru hanya cat saja, tanpa makna. Kita ini ‘kan bukan Melayu, ini rumah panggung Padang. Rumah Melayu ‘kan biasanya satu dan besar. Sedangkan Rumah Padang menyatu atapnya dan satu bangunan terbagi beberapa rumah. Rumah ini satu atap, gentengnya menyatu. Kalau bentuknya sih, saya tidak tahu apakah rumah Melayu atau Minang," paparnya.

Rumah milik keturunan dari H. Abdul Mutholib itu  belum pernah dihuni yang bukan keluarga. Kalau tidak terikat keluarga, tidak boleh menempati. Meski rumah yang ditempti Rita kini sudah terpisah surat dengan ketiga rumah lainnya, namun bangunan itu akan dipertahankan.

Meraka sepakat, meski bangunan itu semakin tua namun tidak akan diberikan kepada yang bukan keluarga.

Sumber : http://harian.analisadaily.com/arsitektur/news/rumah-panggung-berusia-delapan-generasi/274669/2016/11/20


Tags : arsitektur, berita, rumah

Lihat Juga

Tentang Kami

PT. Sukses Megah Persada adalah perusahaan  yang bergerak di bidang Kontraktor, Developer dan Perdagangan umum. => Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan untuk bidang Kontraktor dan Developer antara lain : 1. Sipil Struktur dan Arsitektur,    untuk Struktur, meliputi                  : - Struktur...[Selengkapnya]

Jumlah Pengunjung

Pengunjung hari ini : 47
Total pengunjung : 259890

Hits hari ini : 115
Total Hits : 965351

Pengunjung Online: 1

965351


Hubungi Kami

  • Email : admin@suksesmegahpersada.com
  • Office :
    Komplek Kurdi Regency, Jl. Kurdi Barat 1 No.1A Bandung, Jawa Barat 40243
  • No.Telpon : (022) 5209661
  • Handphone :
    0857 9577 7618
    0898 7006 868 (WA)